Jumat, 07 Oktober 2016

PESONA SYARI’AH BUMI PERTIWI


 

Tak dapat dipungkiri bila potensi pariwisata syari’ah di Indonesia cukup besar. Hal tersebut berawal dari fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Sehingga bisa jadi, bisnis ataupun segala hal yang berbau syari’ah kelak bisa menjadi pondasi kuat perekonomian Indonesia, khususnya dalam hal pariwisata.
            Untuk meningkatkan bisnis wisata syari’ah, Indonesia dinilai harus meningkatkan sistem promosinya di dalam hingga ke luar negeri. Sebab segmentasi dari usaha ini masih dinilai kurang peminatnya. Tetapi dalam penyelenggaraan konferensi investasi pariwisata di lima negara Asia, General Manager Spehere Confrence Singapore, Patricia Cheong, melihat Indonesia punya potensi bagus untuk pariwisata syari’ah jika diiringi kemampuan promosi yang baik. Mereka yakin dengan tawaran pariwisata khusus ini banyak para investor yang tertarik. Bercermin ke negara Singapura yang merupakan negara minoritas muslim, dengan komunitas terbesar kedua setelah komunitas Tionghoa. Hal tersebut tidak menyurutkan semangat muslim di sana untuk memperkenalkan lebih luas lagi wisata syari’ah yang ada. Mereka menilai Indonesia dan Malaysia yang jauh lebih banyak memiliki penduduk muslim dan tempat wisata syari’ah pasti lebih bagus lagi dalam pengembangan dan peningkatan potensi wisata syari’ahnya.
            Pada tahun 2014 sudah banyak tersebar iklan ke seluruh dunia perihal wisata syari’ah yang ada di dua kota negara Jepang, yaitu Kyoto dan Osaka. Dilihat dari kacamata pribadi, hal tersebut merupakan inovasi baru negara Jepang untuk menarik para wisatawan domestik maupun mancanegara dengan mengangkat nilai-nilai dan kebudayaan Islam.
            Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri dalam pengembangan wisata syari’ahnya? Mengingat berdasarkan Sensus Penduduk Badan Pusat Statitik Tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 jiwa. Indonesia pun merupakan salah satu wilayah dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan hal tersebut dirasa sangat besar peluang bagi penduduk Indonesia dalam pengembangan wisata syari’ah. Namun, pertanyaan besar bagi setiap orang pasti mengenai bagaimana mentransformasikan budaya lokal yang sangat jauh dari kata syari’ah itu menjadi sebuah objek wisata nan syari’ah? Fakta tersebutlah yang mengakibatkan perkembangan wisata syari’ah di Indonesia sukar berkembang. Padahal harapan ke depannya wisata syari’ah tidak hanya sebagai penunjang peningkatan ekonomi dalam sektor pariwisata belaka, tetapi dapat sebagai kearifan budaya lokal yang hadir sesuai perkembangan zaman.
Tetap kita sadari bahwa Indonesia bukanlah negara Islam yang menerapkan seluruh tatanan negaranya sesuai aturan Al-Qur’an dan Hadits, inilah salah satu faktor utama banyaknya pendapat masyarakat yang pro dan kontra mengenai wisata syari’ah ini. Kita dapat melirik ke Bali, destinasi tersebut merupakan contoh terbesar kasus dari potensi wisata syari’ah ini. Beralih dari Bali, dengan jumlah mayoritas penduduknya yang muslim merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke tempat-tempat wisata syari’ah.
Wisata syari’ah merupakan wisata yang diperuntukan bagi wisatawan yang muslim maupun non-muslim yang sesuai dengan aturan syari’ah. Dalam hal ini hotel, restoran, agen perjalanan, SPA, mengusung prisip syariah yang tidak melayani minuman beralkohol dan memiliki kolam renang dan fasilitas SPA yang terpisah untuk pria dan wanita. Untuk hotel syariah sudah diatur dalam Peraturan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah. Mengambil contoh pada Hotel syari’ah, mengapa para wisatawan banyak yang berburu hotel syari’ah saat berpergian? Hal tersebut karena wisatawan tersebut ingin bermalam atau menginap di hotel dengan pengunjung yang tertib dan menyediakan makanan yang pastinya halal serta fasilitas tempat beribadah yang nyaman. Untuk infrastruktur wisata syari’ah seperti hotel yang ada di Indonesia hingga sekarang masih belum ada yang diatas bintang tiga. Selain dengan aturan tersebut alangkah baiknya memperhatikan beberapa tahapan untuk mentransformasikan hal-hal yang kurang baik dari budaya lokal menjadi sebuah hal yang sesuai dengan aturan syari’ah.
Ada empat tahapan dalam pentransformasian budaya lokal menjadi sebuah wisata syari’ah.
1.      Pembangunan fisik hotel dan restoran atau sebagainya sebagai tempat yang  ramah, nyaman serta aman dari unsur-unsur yang tidak baik.
2.      Hotel dan restoran yang menjadi target wisata syari’ah hendaknya menyediakan pertunjukan atau suasana budaya lokal yang Islami. Contohnya tari saman, hadrah, marawist, grebeg suro dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat sebagai pemacu ketertarikan pengunjung hotel dan restoran tersebut.
3.      Memberdayakan penduduk lokal untuk terlibat langsung dalam pengadaan sebuah wisata syari’ah. Dengan demikian dapat memperkenalkan kepada mereka potensi wisata sekitar yang dapat meningkatkan pendapatan perekonomian warga daerah setempat. Caranya bisa dengan merekrut mereka sebagai karyawan di sebuah hotel syari’ah misalnya ataupun yang akan memerankan beberapa pertunjukan kebudayaan lokal yang Islami.
4.      Dalam pengembangan wisata syari’ah ini pun perlu adanya kontribusi dari pemerintah setempat. Pemerintah harus membentuk sebuah badan kelola yang dapat langsung bersentuhan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Terlebih lagi sudah terbitnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal, maka akan lebih mudah lagi gerak dan koordinasinya antara Pemerintah dan MUI dalam menggalakan wisata syari’ah. Dengan hal tersebut wisata syari’ah dapat lebih terarah dan tidak mengganggu sektor lainnya.
Sementara ini wisatawan muslim yang banyak berburu tempat wisata syari’ah di Indonesia adalah dari benua Asia dan Timur Tengah. Contohnya Bayt Kaboki Hotel, satu-satunya hotel syariah di Bali dikunjungi oleh 20 persen wisatawan asal Malaysia. Kepala Bidang Investasi Pariwisata Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata, Hengky Manurung, mengatakan, bahwa fasilitas pariwisata syari’ah lebih mengutamakan pengoperasiannya. Hal positif yang dapat diambil dari pariwisata syari’ah ini adalah sistem di dalamnya yang telah menjadi tren masa kini. Misalnya kita ambil contoh dari makanan halal yang disediakan oleh sebuah tempat wisata syari’ah tersebut pasti dapat dijamin unsur makanan itu sehat dan baik, karena sesuatu yang halal itu pasti baik namun yang baik itu belum tentu halal. Jadi wisata syari’ah ini tidak bisa berbicara soal agama tetapi lebih pada penerapan aturan serta gaya hidup yang baik dan tertib.
Saat ini Lombok sudah menjadi destinasi wisata syari’ah dan beberapa daerah lainnya akan segera mengembangkan hal tersebut, layaknya Sabang di Aceh sedang berada dalam penggarapan. Berbeda dengan Bali yang merupakan kota terkenal hingga mancanegara. Sampai-sampai orang luar negeri lebih mengenal Bali di bandingkan Indonesia sendiri. Bali dengan kearifan budaya lokal yang kental dan keindahan alamnya bukanlah sesuatu dengan kekurangan. Namun, dengan berpenduduk mayoritas beragama Hindu membuat penerapan wisata syari’ah di sana sangat sulit. Untuk mencari tempat ibadah bagi muslim dan makanan halal pun adalah sesuatu yang langka.
Dengan demikian prinsip dari wisata syari’ah ini ialah bagaimana kita dapat menyuguhkan kepada konsumen rasa keamanan dan kenyamanan dalam berwisata syari’ah dengan menekankan pada rasa kejujuran, integritas, dan tetap pada rasa hormat terhadap kebudayaan lokal. Layaknyanya seperti apa yang telah menjadi tujuan dari kaidah syari’ah ialah dengan menyingkirkan hal-hal yang berbahaya bagi individu maupun lingkungan sekitar baik berupa barang maupun jasa, serta diharapkan dapat membawa kebaikan umat secara umum. Dan jelas kemaslahatan atau kebaikan itu harus bisa menarik keuntungan dan manfaat, tidak bagi pelakunya saja melain juga bagi masyarakat umum.  

Cari Blog Ini